Catatan dari Muktamar Pemikiran Santri Nasional 2019
Oleh Teuku Zulkhairi Direktur Ma’had Aly Babussalam Al-Hanafiyyah Aceh Utara. Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh . Beberapa h...
https://www.dayahbabussalam.com/2019/10/catatan-dari-muktamar-pemikiran-santri.html?m=0
Oleh Teuku Zulkhairi
Direktur Ma’had Aly
Babussalam Al-Hanafiyyah Aceh Utara.
Dosen UIN Ar-Raniry,
Banda Aceh.
Beberapa hari lalu saya menjadi Peserta Muktamar Pemikiran Santri Nasional
2019 di Ponpes Ash-Shiddiqiyah Jakarta Barat yang diselenggarakan oleh
Kementerian Agama. Keikutsertaan saya setelah naskah yang saya kirim
Alhamdulillah lolos seleksi panitia. Dari 547 naskah peserta yang masuk, 126
diantaranya lulus seleksi dan diundang untuk mempresentasikan naskahnya. Dari
acara ini, saya membaca bahwa ada keinginan dan tekad yang kuat dari
Kementerian Agama untuk membawa santri terlibat totalitas dalam mewujdukan
perdamaian global.
Hal tersebut antara lain terwujud yaitu dengan pelaksanaan Muktamar
Pemikiran Santri Nasional 2019 dengan tema “Santri Mendunia: Tradisi,
Eksistensi dan Perdamaian Global” yang berlangsung dari tanggal 28 samoai
dengan 30 September 2019. Dari tema ini dibagi ke dalam dua panel. Panel
pertama dengan judul “Eksistensi Pesantren Dan Perdamaian Dunia” yang
menghadirkan Prof. Nadirsyah Hosen dari Nahdhatul Ulama (NU) dan Dr. Muhbib
Abdul Wahab, MA dari Muhammadiyah. Dan panel kedua berjudul “Santri, Tradisi
dan Perdamaian Global” yang menghadirkan Prof. Oman Fathurrahman, Dr KH. Ahmad
Zayadi sebagai panelis, serta sejumlah pemateri lainnya.
Kalau ditelusuri secara mendalam, santri dengan pesantren yang mengayominya
sejatinya memang memiliki cukup banyak modalitas dalam mewujudkan perdamaian
dunia. Tidak salah apabila keseluruhan gaya hidup santri sesungguhnya dapat
diaktualisasikan menjadi model ideal kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai fakta
misalnya, dalam ranah pendidikan, para pakar pendidikan dewasa ini cukup banyak
yang merujuk kepada pesantren ketika membicarakan praktek pendidikan karakter.
Karena terbukti pesantren mampu menanamkan secara baik pendidikan karakter
kepada peserta santri.
Pesantren misalnya dapat begitu kuat menumbuhkan budaya ukhuwah Islamiyah
kepada para santri, budaya hidup sederhana, kejujuran dan toleransi, budaya
menghargai (ta’zhim) guru, gotong royong, sopan santun dan budaya hidup
bermasyarakat. Pesantren betul-betul menjadi sub sistem dalam kehidupan
masyarakat di nusantara sebagai wujud hablumminannas. Selain itu, ketika hari
ini dunia remaja kita dihadapkan pada tantangan obat-obat terlarang yang dapat
merusak kehidupan pribadi mereka dan masa depan bangsa ini, maka dunia
pesantren terbukti cukup steril dari peredaran narkoba.
Jika demikian, maka dalam konteks internal bangsa Indonesia, sudah
seharusnya pesantren sebagai institusi pendidikan dan gaya hidup santrinya ini
menjadi rule model bagi kehidupan bangsa Indonesia, utamanya dalam konteks
penataan pendidikan. Artinya, bangsa ini perlu mendapatkan rumusan hidup yang
merujuk kepada gaya hidup santri dan pesantren yang mengayominya. Setelah dapat
menjadikan gaya hidup santri sebagai model ideal kehidupan bangsa Indonesia,
maka setelah itu kita akan dapat terjun lebih melibatkan diri dalam pentas
perdamaian dunia.
Oleh sebab itu, jika para pemateri dalam muktamar ini banyak mengupas
tentang upaya mewujudkan perdamaian dunia dengan menjadikan santri dan
pesantren sebagai pionernya, maka hal tersebut adalah sebuah keharusan dan
memang sudah saatnya. Dan untuk tujuan tersebut, maka kelahiran UU
Pesantren semakin menemukan momentumnya. Artinya, bahwa upaya untuk menginternasionalkan
pesan-pesan perdamaian kaum santri ke depan akan semakin mendapatkan tempatnya.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI, Dr. KH. Ahmad
Zayadi dalam paparan materinya menyampaikan, bahwa lahirnya UU Pesantren ini
tujuan utamanya adalah mewujudkan kembali keaslian pesantren. Pesantren di
nusantara menurutnya secara historis telah menjalankan tiga fungsinya
sekaligus, yaitu mengembangkan fungsi pendidikan, fungsi dakwah dan fungsi
pemberdayaan masyarakat. Jadi RUU Pesantren yang baru dilahirkan beberapa waktu
lalu ini ingin mengembalikan fungsi pesantren sebagai sejatinya pesantren.
Masih menurut menurut KH. Ahmad Zayadi, upaya-upaya menyebarkan nilai-nilai
perdamaian kepada masyarakat global saat ini, terus menerus dilakukan, baik
oleh pesantren sebagai institusi yang otonom dan juga oleh Kemenag sebagai
lembaga negara. Upaya ini dilakukan antara lain misalnya dengan mendatangkan
calon pelajar dari berbagai negara untuk “nyantri” di pesantren-pesantren di
Indonesia. Saat ini, kata KH. Ahmad Zayadi, terdapat sekitar 1600 santri
internasional dari Timur Tengah, seperti Sudan, Yaman, Afghanistan dan Pakistan
yang belajar di Indonesia. Bahkan, menurut KH. Ahmad Zayadi, saat itu juga
sedang dalam proses pengurusan Kitas (izin tinggal) bagi sejumlah calon santri
dari Arab Saudi.
Sesungguhnya, upaya ini dapat menjadi wujud konkret untuk mewujudkan peran
Indonesia sebagai pelopor dalam mewujudkan perdamaian dunia. Apalagi, menurut
Teuku Faizasyah dalam kesempatan yang sama, Indonesia telah dipandang cukup
mewakili citra Islam yang moderat yang senantiasa mengedepankan dialog.
Sementara itu, jaringan santri sendiri, kata Teukun Faizasyah, terbukti sangat
luas sehingga dapat menjadi modalitas penting mewujudkan santri sebagai pelopor
perdamaian dunia. Dan jaringan santri dewasa ini tidak hanya di level
Indonesia, akan tetapi juga level mancanegara. “Dalam menyelesaikan konflik di
Afghanistan, kita melihat ada nilai-nilai saling merangkul pada Nahdhatul
Ulama. Saat ini ada beberapa cabang NU di Afghanistan, “ kata Teuku Faizasyah.
Konsepsi yang tidak kalah menarik disampaikan oleh Dr. KH. Muhbib Abdul
Wahab, MA dari Muhammadiyah. Kata beliau, di semua pesantren setidaknya
memiliki lima spirit sebagai modal mewujudkan perdamaian dunia. Pertama, Tafaqquh
fiddin, kajian kitab dan buku di pesantren. Kedua, Washatiyatul
Islam. Islam yang tidak hanya dapat menengahi antara budaya yang agak keras
pada agama yahudi dan budaya yang agak lembek pada agama Kristen, tapi juga
dapat menjinakkan kerasnya orang-orang Arab pra Islam. Islam yang dipelajari di
pesantren adalah Islam yang tidak ekstrim kanan dan juga tidak ekstrim kiri. Modalitas ketiga kata
beliau adalah, turast atau kitab-kitab klasik. Keempat, kultur
dan budaya pesantren adalah Islam yang lues dan luas, tidak kaku. Di pesantren
senantiasa dibiasakan untuk berpendapat meskipun berbeda. Dan kelima,
yaitu pelibatan figur ulama untuk kampanye perdamaian.
Paparan Dr. Muhbib Abdul Wahab ini cukup memberikan penjelasan luas tentang
modalitas penting pesantren untuk terlibat dalam upaya mewujudkan perdamaian
dunia. Dengan sejumlah modalitas tersebut, pesantren telah berhasil membentuk
gaya dan pola hidup para santrinya penuh dengan nilai-nilai keluhuran. Santri
dengan pesantren yang mengayominya telah menjalankan model kehidupan yang penuh
dengan nilai-nilai luhur saat dimana sebagai bangsa kita kehilangan keteladanan
dalam bagaaimana kehidupan sehari-hari.
Kehidupan santri yang dididik dengan aturan yang ketat dan menjadikan kitab
kuning sebagai referensi pembelajaran mereka, telah menciptakan model kehidupan
yang cukup ideal bagi bangsa. Seperti kesopanan, hidup hemat (tidak konsumtif),
kesederhanaan, budaya ukhuwah Islamiyah dan silaturrahmi, semangat kebersamaan
dan gotong royong, kejujuran dan seterusnya. Selain itu, santri juga senantiasa
dapat terjaga atau dijaga dari pengaruh negatif globalisasi, seperti narkoba
dan juga pengunaan smartphone untuk tujuan yang melalaikan seperti game-game online yang
menurut para psikolog dapat mengganggu kesehatan mental remaja. Dan tentu saja,
para santri juga senantiasa menjaga hubungan dengan Allah SWT (hablumminallah)
dan hubungan dengan sesama manusia (hablumminannas).
Oleh sebab itu, tatkala hari ini kita melihat bangsa kita menghadapi
segudang permasalahannya, maka tidak berlebihan apabila kita berharap agar
gaya hidup para santri di pesantren dapat diinternalisasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara saat dimana kita menghadapi rentetan problematika
berbangsa. Dengan ini kita berharap agar bangsa kita semakin mampu berperan
dalam skala global untuk mewujudkan tatanan dunia yang damai dan beradab. Hal
ini dapat diawali dengan merumuskan konsep pendidikan bagi anak bangsa yang
mengadopasi nilai-nilai luhur yang diperagakan oleh para santri di pesantren atau
dayah. Maka di sinilah letak pentingnya kelahiran UU Pesantren yang kita
harapkan dapat semakin mendekatkan kita pada tujuan tersebut. Insya
Allah.
Tulisan ini sudah dimuat di republika online
link: https://www.republika.co.id/berita/kolom/wacana/19/10/02/pyqowb282-tekad-mewujudkan-santri-sebagai-pelopor-perdamaian-dunia
link: https://www.republika.co.id/berita/kolom/wacana/19/10/02/pyqowb282-tekad-mewujudkan-santri-sebagai-pelopor-perdamaian-dunia